Try us on Wibiya!

Dapatkan dibayar Untuk Mempromosikan Pada Setiap WebSite

Get paid To Promote at any Location

Jumat, 24 September 2010

Aku tahu dia, dia pun tahu aku

Cuma tiga bulan kurasakan madu pernikahan. Selebihnya, aku merasa serumah dengan lelaki yang tidak kukenali. Tanpa percakapan, aku selalu dirampok sepi.

Pembaca, perkenalkan namaku Dina, ibu dengan satu anak, Rizky. Kami tinggal di sebuah pulau di daerah Riau. Aku juga seorang wanita karier di sebuah perusahaan asing dan menduduki posisi penting di kantorku. Suamiku, Har, bekerja di salah satu LSM, juga berposisi. Dalam kesempatan ini aku ingin sekali berbagi kisah dan sangat berharap saran dari pembaca. Saran atau nasihat yang dapat menunjukkan sinar terang untuk hidupku.

Pembaca, aku mengenal Har sejak sama-sama duduk di bangku SMP. Tapi itu hanya kenal biasa, tak ada kenangan manis. Aku tahu dia, dia pun tahu aku. Cukup. Kami tak pernah dekat, apalagi pacaran. Dia tetangga, juga teman satu kelas.

Setelah bekerja, aku kembali bertemu dengan Har, melalui perantara seorang sahabat. Singkat saja, kenalan dan dekat. Sering jalan bersama, satu bulan kemudian, Har menyatakan cinta. Dia pun segera mengajakku menikah. Kuterima tawaran itu, karena aku tahu dia serius. Enam bulan kemudian, kami pun resmi menikah.

Pembaca, tiga bulan pertama adalah hal yang sangat indah, hal terindah dalam hidupku. Tak sedetik pun kami berpisah, berduaan terus. Maklum, pengantin baru, kami tak pernah merasa puas mereguk madu. Tapi, setelah tiga bulan itu, semuanya berubah. Aku melihat suamiku sebagai sosok yang pendiam, cuek, dan tak pernah mengajakku bercerita, berkeluh-kesah, atau bertukar pikiran. Kucoba mengamati dan menerima sikap dia, tapi aku malah tertekan. Karakternya itu membuatku merasa tak pernah ada dalam hidupnya, tak mendapat perhatian. Tak pernah ada cerita apa pun, aku merasa seperti pembantu di rumahku sendiri.

Memang, dia tak pernah berkata kasar atau memukulku. Tapi, didiamkan, tak dianggap ada, itu lebih sakit bagiku daripada sebuah pukulan. Dia cuek banget. Aku merasa sendirian. Semua hal aku harus memutuskan sendiri, tak mendapatkan arahan atau pun pertimbangan darinya.

Ketika tidak kuat lagi, aku katakan padanya bahwa aku lelah, aku sepi, teraniaya, dan ingin diperlakukan sebagai istri. Tapi, apa kata suamiku? Dia mengaku sangat mencintaiku, amat sangat. Tapi, dia tak tahu harus bersikap bagaimana pada diriku. Dia merasa apa yang dia lakukan adalah wajar sepanjang tidak menyakitiku, tidak selingkuh, dan bertanggungjawab secara ekonomi.

Aku menangis. Bagaimana aku harus meminta perhatiannya, jika dia merasa sudah tak tahu harus bersikap bagaimana? Dia merasa hal itu bukan sebuah kesalahan. Bayangkan! Aku cuma diberi kesepian-kesepian, pendiaman, yang aku tak tahu entah sampai kapan.

Setahun, aku hamil dan melahirkan. Kukira, dengan adanya anakku, dia akan berubah. Mungkin, aku juga tak lagi sepi. Apalagi, anakku yang lahir lelaki, yang kuyakin amat diimpikan setiap suami. Aku percaya, dia akan lebih peduli padaku, atau minamal pada anakku. Nyatanya, tak ada perubahan itu. Harapanku menguap, jadi kekosongan saja.

Suamiku tetap saja cuek, santai seperti tak ada masalah, seperti menganggap aku dan anakku tak pernah ada di rumah untuk diajak sebagai teman bicara. Gila! Bahkan kalau dia pergi ke luar kota, untuk menelpon atau SMS saja, dia tak pernah melakukannya. Itu sudah kebangetan, sudah tidak lagi menusiawi. Aku marah, aku berontak.

Tapi, apa katanya? Suamiku bilang, dia ingin konsentrasi kalau bekerja, agar bisa tenang dan cepat kelar lalu pulang. Katanya, jika selalu ingat aku dan anak, dia tidak bisa tenang, pekerjaan pun terbengkalai. Gila, nggak?

Dia juga berkata, bahwa sikapnya itu memang membuatku tersiksa. Tapi dia mengaku tidak bisa berbuat apa pun untuk mengubah situasi itu. "Aku ya memang begini ini," katanya. Apanya yang nggak bisa berubah? Dia yang tidak mau berubah!

Har juga meminta maaf, bahwa selama menikah aku tidak menjadi tempat dia curhat. Katanya, dia yakin jika pun curhat, aku tidak akan dapat membantunya menyelesaikan masalahnya. Ya Tuhan, dari apakah hati suamiku? Mengapa dia tega berpikir dan berbicara begitu?

Padahal, aku selalu ingin menjadi yang terbaik untuknya. Kubantu ia mencari nafkah dengan bekerja. Tetap kusempatkan diri memasak setelah pulang kantor karena aku tahu suamiku tidak suka makan di luar. Selelah apa pun jika ia minta tolong, akan segera kukerjakan. Itu tak lain karena aku mencintai suamiku. Aku menghargainya, mendewakannya. Tapi, tapi balasannya...!!

Pembaca... aku benar-benar kesepian. Aku tidak bisa cerita ke teman-teman atau ke keluargaku yang lain karena aku tak mau suamiku dicela, dimaki atau disumpahi oleh orang-orang yang kesal atas sifatnya. Bagaimanapun, dia suamiku, ayah anakku, pemimpin dan kepala rumahtanggaku. Aku tak ingin dia dipandang rendah oleh saudaraku. Aku harus menjaga hargadirinya dan juga martabatnya. Aku hanya bisa pasrah dan curhat ke Allah SWT.

 Namun aku hanyalah manusia biasa yang tetap butuh diskusi. Bantulah aku pembaca. Apa yang harus aku lakukan? Haruskan aku pasrah menjalani hidup ini? Apakah ini memang takdir yang harus aku jalani, dan menerima saja diperlakukan suami sebagai perempuan bisu yang tak bisa apa-apa, yang tak pernah diajak berbicara?

Aku percaya, Allah akan membantuku melalui tangan-tangan pembaca semua. Bantulah aku, ya? Ya?

0 comments:

Posting Komentar

Paling sering dibaca

Pengikut